MEMAKAI BAJU SENDIRI
by Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag.
Hal yang paling penting dimiliki oleh seseorang atau suatu bangsa adalah jati diri, identitas atau kepribadian. Inilah yang membedakan seseorang atau suatu bangsa dari orang atau bangsa lain. Dengan jati diri yang dimilikinya, orang atau bangsa tersebut akan mempunyai sikap dan pendirian sendiri tanpa dipengaruhi oleh orang atau bangsa lain di luar dirinya. Dengan jati diri orang atau bangsa tersebut akan dapat menegakkan kepalanya dan bebas dari tekanan. Ia akan mandiri menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan yang ia hadapi.
Muhammad Iqbal (1877-1938) penyair pemikir dari Pakistan, menyebutkan ada beberapa hal yang dapat memperkuat pribadi, yang dalam bahasanya disebut khudi, baik personal maupun komunal. Di antaranya adalah, pertama cinta. Cinta adalah kekuatan alam semesta yang membawa keindahan. Cinta adalah nafas kehidupan itu sendiri. Cinta berarti keinginan untuk melarutkan dan meresapkan diri kepada yang dicintainya. Cinta memainkan peranan sangat dominan dalam memperkuat khudi. Karena itu, jangan salah mencintai. Cintailah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang mencintai keduanya. Dengan demikian, sang pencinta akan menciptakan sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya di dalam dirinya. Dalam surat Ali `Imran ayat 31 Allah menegaskan, ”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dengan cinta, lanjut Iqbal, Ibrahim berani melompat ke dalam api Namrud. Cinta sanggup membuat orang berkorban demi yang dicintainya.
Kedua, faqr. Istilah ini tidak sama dengan pengertian orang yang hidupnya kekurangan. Iqbal memahaminya sebagai ”melepaskan sepenuhnya dari keinginan untuk mendapatkan balasan yang ditawarkan dunia.” Dengan kata lain, faqr adalah sikap jiwa tidak tergoda oleh kesenangan duniawi dan tidak diperbudak olehnya. Faqr menjadi benteng pertahanan diri dari seluruh godaan yang dihadapi seseorang di dunia. Karenanya, lanjut Iqbal, faqr dimotivasi oleh sebab-sebab yang mulia, bukan oleh hal-hal yang tersembunyi. Faqr semata-mata bertujuan hanya untuk kebahagiaan dan kehormatan diri. Dengan kata lain, faqr ini sama dengan zuhud dalam konsep tasauf, yaitu mengosongkan hati dari kehidupan dan kecenderungan terhadap kemewahan duniawi. Dalam puisinya Iqbal menyatakan, Ketika pedang jiwa diasah dengan ketajaman faqr/kekuatan seorang tentara akan sama dengan kekuatan satu pasukan tempur.
Ketiga, keberanian. Tanpa keberanian, baik jasmani (fisik) maupun mental (moral), mustahil bagi manusia dapat mencapai prestasi apa pun yang penting di dunia ini. Hampir setiap kemajuan dicapai melalui keberhasilan dalam menghadapi berbagai rintangan, dan itu hanya dapat dilakukan dengan keberanian. Sebaliknya, ketakutan membuat orang kalah dalam menghadapi berbagai rintangan eksternal. Bagi orang yang berani, rintangan adalah sarana yang membantu perkembangan karakternya dan membawanya untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Tidak ada ketakutan dalam jiwanya, tidak ada kegagalan dalam usahanya. Orang yang berani tidak akan tunduk pada kekuatan-kekuatan jahat. Ia tidak menyerah kepada apa pun, kecuali kepada keyakinan pendiriannya sendiri. Kesuksesan hidup hanya dapat dicapai dengan semangat berani menghadapi risiko dan menentang segala kekuatan yang cenderung merintangi kita dalam menikmati hak-hak yang sah.
Akan tetapi, keberanian tidak semata-mata berarti berani menghadapi kekerasan secara fisik atau berani menghadapi bahaya eksternal. Keberanian yang lebih besar adalah menghadapi bahaya kehilangan iman dan keyakinannya, suatu standar nilai-nilai benar dan salah. Dengan iman ia memiliki ukuran tersendiri dalam memandang kehidupan, meskipun keadaan dunia kacau dan orang-orang akan menertawakan dirinya.
Keempat, Kasb-e halal, atau hidup dengan usaha yang halal (sah). Ini melingkupi segala macam pekerjaan yang dilakukan tidak dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum, seperti mencuri, merampok, menipu atau melakukan kecurangan. Akan tetapi, menurut Iqbal, istilah ini memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu memperoleh gagasan dan pikiran semata-mata dari usaha dan perjuangannya sendiri. Ia tidak hanya mengikuti pemikiran orang lain tanpa memiliki pemikiran sendiri. Ia menentukan aktivitas kehidupan pribadi dengan usaha dan perjuangan sendiri dan secara totalitas menolak segala hal yang tidak berasal dari dirinya. Setiap sesuatu yang diperoleh tanpa kerja keras, tetapi berdasarkan warisan orang lain, tidak dapat dikatakan dengan kasb-e halal.
Kelima, mengerjakan sesuatu secara kreatif dan orisinal. Menurut Iqbal, untuk mengembangkan dan menopang ego, segala aktivitas mesti dilakukan secara kreatif dan asli. Kepasifan dan peniruan tidak ada gunanya bagi perkembangan ego dan karenanya harus dibuang. Setiap pribadi harus berusaha untuk menciptakan sesuatu. Dorongan untuk mencipta merupakan faktor pendorong dalam meningkatkan posisi manusia sebagai wakil Tuhan di bumi, dan kegagalan manusia dalam mencipta berakibat pada terjadinya distorsi pada kepribadian manusia. Betapa pun, kegagalan dalam menciptakan usaha yang signifikan tidak hanya berakibat pada ketidakmampuan manusia untuk berusaha, tetapi juga berakibat pada ketidakmampuannya melakukan hal-hal yang produktif.
Inilah faktor-faktor yang dapat memperkuat jati diri. Orang atau bangsa yang memiliki hal-hal tersebut tidak akan terombang-ambing dalam kehidupan dunia. Mereka memiliki orientasi. Sebaliknya, tidak akan berhasil seseorang atau suatu bangsa yang tidak memiliki jati diri, apalagi menjadi bayang-bayang orang atau bangsa lain. M. Quraish Shihab menegaskan bahwa tidak akan sukses seseorang atau suatu bangsa yang menyimpang dari jati dirinya. Kita harus mengenakan baju kita sendiri, karena memakai baju orang lain—walaupun ukurannya sesuai—pasti tidak nyaman bagi kita. Bukankah banyak bangsa yang mendahului bangsa lain dalam kemajuan, tetapi karena kehilangan jati diri akhirnya bangsa tersebut tertinggal di belakang. Jepang adalah salah satu contoh bangsa yang berhasil maju dan modern, namun tidak meninggalkan identitas dan jati diri mereka sebagai sebuah bangsa yang besar.
Bangsa Indonesia sudah memiliki jati diri yang digali dari pengalaman hidup bangsa melalui adat istiadat, budaya dan agama serta dirumuskan dalam Pancasila. Pancasila merupakan kalimah sawâ’ (kesepakatan bersama) kita dalam mengelola kebhinnekaan unsur yang ada pada bangsa Indonesia. Sayangnya, saat ini kita cenderung mengalami degradasi terhadap jati diri ini. Kita lebih silau pada ”baju” bangsa-bangsa asing (Barat) yang maju tetapi tidak memiliki jati diri yang sama dengan bangsa kita. Kita menganggap mereka sebagai representasi kemajuan dan modernitas. Akibatnya, kita menjadi bangsa peniru, yang kehilangan orientasi terhadap jati diri sendiri. Sayangnya, yang kita tiru justru adalah budaya-budaya sampah mereka, bukan budaya kreatif dan inovatif mereka menciptakan dan mengembangkan sains dan teknologi.
Perhatikan cara makanan, berpakain dan pola pergaulan kita. Hampir-hampir kita mengidentikkan diri dengan bangsa Barat. Kalau televisi dapat dikatakan sebagai representasi budaya suatu bangsa, maka kita saksikan di televisi betapa kita benar-benar kehilangan identitas. Lihat makanan yang diiklankan di televisi, hampir semua berbau asing. Perhatikan pakaian para wanita yang menghiasi televisi, sebagian besar tidak mencerminkan budaya Timur. Pakaian mini dan memperlihatkan paha dan dada sudah menjadi menu bagi penonton. Lihat pula acara-acara yang kita saksikan di dalamnya, peluk cium laki-laki perempuan yang bukan mahram menjadi hiasan layar kaca tersebut. Paling-paling bulan Ramadhan ini acara-acaranya ”taubat” berganti dengan acara-acara yang relijius. Setelah Ramadhan, dapat dipastikan tayangan-tayangan acara yang tidak sesuai dengan jati diri kita kembali berseliweran.
Kadang-kadang saya iri dengan negara tetangga Malaysia. Saya menyaksikan acara-acara televisi di Malaysia relatif lebih islami. Wanita-wanitanya memakai pakaian yang sopan, meskipun tidak semuanya memakai jilbab. Kata-kata yang berbau relijius tidak sungkan-sungkan terucap dari bibir mereka, meskipun bukan pada acara yang khusus tentang agama. Acara sinetron mereka lebih santun. Mereka masih dapat mempertahankan budaya Melayu (Islam) di tengah-tengah arus modernitas. Artinya mereka masih tidak kehilangan jati diri.
Sementara, kita sadar atau tidak sadar, melupakan budaya sendiri. Anehnya lagi bangsa kita, ketika negara tetangga mengklaim kebudayaan dan kesenian kita, barulah kita ribut seperti cacing kepanasan. Padahal, selama ini kita barangkali kurang memperhatikannya. Kita sibuk meniru dan mengadaptasi budaya asing, sehingga lupa pada budaya sendiri.
Tidak ada jalan lain yang harus kita lakukan, kecuali memelihara nilai-nilai budaya, adat istiadat dan nilai-nilai agama yang hidup di dalam masyarakat kita. Jangan lupakan milik kita sendiri, kalau kita tidak ingin terjerembab ke dalam limbo sejarah. Ambil dan pakai kembali baju kita yang selama ini mungkin kita lupakan. Kalau kita terus melupakan baju miliki sendiri, lalu mencoba memakai baju orang lain, maka jangan harap bangsa ini akan besar. Jati diri bangsa ini akan hilang. Jangan salahkan pula kalau ada orang lain yang memungut baju kita lalu mengakuinya sebagai baju mereka.][