JAMUAN RAMADHAN

JAMUAN RAMADHAN

MEMANUSIAKAN MANUSIA
By: Muhammad Iqbal

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Kemudian Kami campakkan ia ke derajat yang rendah. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih.... (Qs. Al-Tin, 95: 4-6)
Salah satu hasil paradigma sekuler ilmu pengetahuan Barat adalah upaya mereduksi manusia hanya sebagai makhluk fisik-kimia yang segala tindakannya tidak lebih dari sekadar respons deterministik terhadap stimulus eksternal maupun internal. Dalam karyanya Guide to Modern Thought, CEM Joad  dengan baik sekali melukiskan kecenderungan pandangan psikologi Barat sejak abad ke-19 yang meredusir manusia sebagai makhluk materiil-mekanistik. Joad menjelaskan bahwa seluruh kejadian kejiwaan didahului oleh proses kerja yang dilakukan otak; seluruh proses kerja otak ini adalah subjek bagi hukum kausalitas dan hukum kausalitas ini didahului oleh hal-hal yang berkaitan dengan tubuh  atau stimulus eksternal yang menghasilkan respons kita. Pendek kata, segala tindakan manusia hanyalah diatur oleh otak atau sel-sel saraf, bukan oleh pertimbangan-pertimbangan moral atau spiritual.

Dalam epistemologi psikologi yang mekanistik ini kehidupan diredusir menjadi sebuah hasil insidental  dari evolusi sembrono. Kehidupan umumnya, dan kehidupan manusia khususnya, kehilangan segala signifikansinya yang nyata. Tidak ada pembicaraan tentang manusia sebagai makhluk spiritual yang memiliki nilai-nilai moral, etika dan tanggung jawab sebagai khalĂ®fah Tuhan di bumi. Tidak ada juga pembicaraan tentang manusia sebagai kreasi terbaik Tuhan yang diserahi tugas untuk  menciptakan hal-hal yang terbaik pula, sebagaimana pesan suci Tuhan kepada manusia. Psikologi Barat tidak mengenal arti pertanggungjawaban manusia terhadap segala perbuatannya dalam kehidupan.
            Inilah yang berkembang dalam psikologi modern. Nilai-nilai peradaban Barat yang cenderung melepaskan ilmu dari moralitas, sains dari agama akhirnya menjadikan manusia sebagai makhluk yang terbebas dari nilai-nilai spiritual. Bahkan perkembangannya sekarang sudah melampaui batas-batas nilai kemanusiaan itu sendiri. Sebagai contoh, seperti ditulis Jalaluddin Rakhmat (1986), seorang ilmuwan Spanyol bernama Jose Delgado berhasil membuat percobaan mengontrol orang dengan menggunakan “remote”. Dengan memasukkan jarum-jarum mini elektris dalam posisi tertentu ke dalam otak seseorang, ia mampu menentukan dan mengatur perilaku orang tersebut dari jarak jauh sesuai dengan keinginannya. Delgado juga mengembangkan zat-zat kimia yang dapat membuat manusia tertawa, menangis, tenang, agresif, muntah, bingung, tidur dan sebagainya. Zat ini dinamakannya psychotropic drugs. Penemuan ini tentu sangat berbahaya bagi kemanusiaan, karena bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan jahat.
            Lebih dari itu, perkembangan psikologi ternyata telah jauh meninggalkan Tuhan. Dalam hal ini, Sigmund Frued, Bapak Psikoanalisis, menyatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan muncul karena motif-motif tidak sadar dalam diri manusia.  Freud memandang agama sebagai ilusi. Agama berasal dari ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi daya-daya dari alam luar dan daya imajinatif dari dalam dirinya. Agama muncul pada tahap awal perkembangan manusia ketika ia belum lagi menggunakan akalnya untuk menghadapi daya-daya eksternal dan internal, dan harus menekan atau mengendalikan mereka dengan bantuan dari kekuatan lain yang efektif. 
            Berdasarkan perkembangan tersebut di atas, timbul kekhawatiran bahwa psikologi, dan ilmu apa saja, sebenarnya tidak bebas nilai. Dalam hal ini, psikologi sangat sarat dengan nilai-nilai humanisme sekuler Barat yang terlalu mengagungkan manusia, namun pada saat yang sama mencampakkan manusia itu sendiri ke derajat yang rendah.
Dalam konteks demikian, Al-Quran sebenarnya memberikan dasar-dasar pengetahuan tentang tingkah laku manusia sebagai makhluk “utuh” yang mempunyai ruh dan jasad. Al-Quran memberikan bimbingan bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku; bahwa mereka terdiri dari unsur-unsur insaniyah dan ilahiyah, yang karenanya, ia harus mempertahankan serta menyeimbangkan kedua unsur ini. Ketimpangan dalam salah satu unsur ini akan mengantarkan manusia pada kehidupan yang susah.  
            Dalam Al-Quran surat al-Infihar, 82:7, Allah menyatakan bahwa Ia telah menciptakan manusia dengan keadilan (keseimbangan). Dengan dasar penciptaan ini, manusia dituntut untuk mempertahankan keseimbangan tersebut dalam kehidupannya. Dalam ayat lain Allah juga menegaskan bahwa manusia adalah makhluk suci yang paling sempurna dan sebaik-baik bentuk dari segenap ciptaan-Nya (Qs. Al-Isra’, 17:72; al-Tin, 98:4). Kesucian dan kemuliaan ini merupakan gabungan dari tiga unsur, yakni benar, baik dan indah. Mencari yang benar akan menghasilkan ilmu; mencari yang baik akan menghasilkan etika (moral); dan mencari yang indah akan menghasilkan seni.
            Dari pandangan Al-Quran yang demikian dapat diambil benang merah bahwa ilmu, etika dan seni harus menyatu dalam diri manusia. Pemisahan di antara ketiganya hanya akan melahirkan manusia-manusia yang terpecah kepribadiannya. Orang yang hanya mementingkan ilmu hanya mengandalkan rasionalitasnya belaka akan sangat berbahaya bagi kemanusiaan. Ini sudah diperlihatkan dalam realitas perkembangan ilmu yang terjadi di Barat, sebagaimana sebagiannya telah dipaparkan di atas. Orang yang hanya mementingkan etika dan spiritualitas juga bukan manusia sempurna. Ia hanyalah menjadi ”malaikat” berbentuk manusia dan tidak  memiliki keinginan-keinginan yang bersifat manusiawi. Sebaliknya, orang yang hanya mementingkan keindahan tanpa bingkai moralitas dan etika juga hanya berpikir seni untuk seni. Baginya, seni adalah segala-galanya.  Melukis wanita telanjang adalah keindahan dan itu sah-sah saja dilakukan. Atas nama seni, mempertontonkan kemesuman juga tidak terlarang. Itulah yang dilakukan oleh sebagian insan seni yang diperbudak seni ketika mereka menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi beberapa waktu lalu atau orang-orang terkenal yang mempertontonkan perzinaannya melalui video kepada khalayak ramai.
            Karena itu, Islam sangat mengajarkan kepada manusia untuk memanusiakan manusia dan mempertahankan fitrah kemanusiaannya. Upaya-upaya yang bertujuan untuk merendahkan nilai-nilai kemanusiaan hanya akan menjadikan manusia sebagai makhluk yang kurang lebih sama dengan derajat hewan.[]